Restorasi Pagi, Mataraman.net – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dulunya merupakan momentum penting bagi rakyat untuk terlibat langsung dalam menentukan arah pembangunan daerah. Dalam setiap helatan Pilkada, rakyat memiliki kesempatan untuk menyuarakan aspirasi, memilih pemimpin yang dianggap mampu memperjuangkan kepentingan mereka, dan menjadi bagian dari proses demokrasi yang bermakna. Namun, semakin ke sini, Pilkada mulai kehilangan esensi utamanya sebagai wadah keterlibatan rakyat. Pemilu lokal yang seharusnya berakar pada demokrasi partisipatif kini seakan berubah menjadi panggung politik yang lebih didominasi oleh para elit kuasa.
Pertarungan dalam Pilkada kerap kali lebih mencerminkan adu kekuatan politik antar elite, daripada ajang untuk merumuskan solusi nyata bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Banyak calon kepala daerah bukanlah sosok yang lahir dari bawah, melainkan figur-figur yang diusung oleh partai politik dengan latar belakang oligarki atau kekuatan ekonomi tertentu. Dalam situasi ini, rakyat lebih sering ditempatkan sebagai objek politik, alih-alih subjek yang terlibat aktif dalam menentukan kebijakan publik.
Fenomena ini dapat dilihat dari bagaimana politik uang, pengaruh media, dan permainan kekuasaan di belakang layar semakin mendominasi proses Pilkada. Dukungan rakyat yang dulunya berbasis ideologi dan program kerja kini tereduksi menjadi transaksi material atau permainan citra di media massa. Rakyat, yang seharusnya menjadi penentu akhir, malah sering kali hanya menjadi angka-angka statistik dalam perhitungan suara, tanpa benar-benar memahami atau terlibat dalam substansi pilihan mereka.
Selain itu, oligarki politik semakin kuat mencengkeram proses demokrasi lokal. Banyak pemimpin daerah yang terpilih justru berasal dari kalangan keluarga politik atau pengusaha besar yang memiliki akses ke sumber daya politik dan ekonomi. Koneksi dan kekuatan modal menjadi faktor penentu dalam menentukan siapa yang dapat maju dan menang dalam Pilkada. Akibatnya, Pilkada bukan lagi ajang demokrasi yang setara bagi semua calon, melainkan lebih sebagai permainan para elit yang memiliki akses ke sumber daya politik dan ekonomi.
Dalam kondisi ini, aspirasi rakyat semakin terpinggirkan. Kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat, tetapi lebih sebagai upaya untuk menjaga kepentingan para elit yang telah berinvestasi dalam proses politik. Rakyat hanya menjadi alat legitimasi dalam sistem politik yang dikuasai oleh segelintir orang.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merenungkan kembali esensi Pilkada sebagai alat demokrasi. Reformasi politik dan penguatan kontrol rakyat terhadap proses politik menjadi sangat penting untuk mengembalikan Pilkada sebagai panggung rakyat bicara. Demokrasi lokal yang sejati hanya akan terwujud jika rakyat benar-benar memiliki akses dan kendali dalam menentukan pemimpin mereka, tanpa terjebak dalam permainan para elit kuasa.
Sejak reformasi politik tahun 1998, Indonesia telah menikmati sejumlah kebebasan politik yang memberikan ruang lebih luas bagi partisipasi rakyat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada, yang diselenggarakan secara langsung oleh rakyat, diharapkan menjadi wadah bagi demokrasi lokal di mana rakyat dapat memilih pemimpin yang dipercaya mampu memajukan daerahnya. Namun, realitas saat ini menunjukkan adanya pergeseran yang signifikan. Pilkada, yang seharusnya menjadi wadah rakyat untuk menyuarakan kehendak politik, justru didominasi oleh elite politik dan kekuatan ekonomi besar. Ini menyebabkan proses demokrasi yang semula partisipatif dan inklusif bergeser menjadi arena perebutan kekuasaan yang elitis.
1. Komersialisasi Politik dalam Pilkada
Salah satu fenomena yang paling menonjol dalam Pilkada modern adalah komersialisasi politik. Politik uang (money politics) telah menjadi elemen penting dalam kontestasi elektoral di berbagai daerah. Menurut Aspinall dan Berenschot dalam buku mereka Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (2019), politik uang menjadi strategi utama dalam upaya para calon kepala daerah untuk memenangkan suara. Uang digunakan untuk membeli dukungan politik dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu, baik melalui bantuan tunai, barang, atau janji-janji fasilitas.
Fenomena ini menciptakan budaya politik yang sangat transaksional, di mana suara rakyat dianggap sebagai komoditas yang dapat dibeli. Dalam jangka panjang, komersialisasi politik ini merusak substansi demokrasi karena kualitas kepemimpinan yang terpilih tidak lagi didasarkan pada kemampuan dan integritas, melainkan pada seberapa besar modal yang dapat dikeluarkan oleh calon dalam kampanye. Hal ini berdampak buruk pada kualitas kebijakan publik yang dihasilkan oleh pemimpin yang terpilih, karena mereka lebih berfokus pada mengembalikan investasi politik yang telah dikeluarkan selama kampanye.
2. Dominasi Oligarki dalam Pilkada
Dominasi oligarki dalam Pilkada menjadi masalah utama dalam demokrasi lokal di Indonesia. Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) menjelaskan bahwa oligarki tidak hanya mengendalikan kekayaan ekonomi, tetapi juga memiliki kontrol signifikan atas proses politik, termasuk Pilkada. Para oligarki, yang merupakan segelintir individu atau kelompok yang memiliki kekayaan besar, sering kali memanipulasi Pilkada dengan memberikan dukungan finansial kepada kandidat yang mereka anggap dapat memperjuangkan kepentingan mereka.
Keterlibatan oligarki dalam Pilkada menciptakan ketimpangan besar antara calon-calon yang memiliki akses ke modal besar dan mereka yang tidak. Kandidat yang memiliki dukungan finansial yang kuat dari oligark sering kali mengalahkan calon-calon independen yang lebih mengakar pada komunitas, tetapi kekurangan sumber daya kampanye. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak mencerminkan kepentingan masyarakat luas, melainkan lebih mendukung kepentingan ekonomi elit yang telah “menginvestasikan” modal dalam Pilkada.
3. Politik Dinasti: Warisan Kekuasaan Keluarga
Salah satu manifestasi paling nyata dari elitisasi Pilkada adalah politik dinasti, di mana kekuasaan politik di suatu daerah diwariskan dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya. Fenomena ini sangat mencolok di berbagai daerah di Indonesia. Dalam buku The Rise of Political Dynasties in Indonesia (Choi & Hamid, 2019), disebutkan bahwa dinasti politik tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga menciptakan monopoli kekuasaan yang berkelanjutan di satu daerah.
Politik dinasti ini sangat menguntungkan bagi keluarga-keluarga elit yang telah lama berkuasa di daerah. Mereka menggunakan koneksi politik dan ekonomi mereka untuk memastikan bahwa anggota keluarga yang akan menggantikan posisi mereka mendapatkan dukungan penuh dari partai politik, pemodal, dan pemilih. Dalam kondisi ini, kandidat-kandidat independen atau mereka yang benar-benar memiliki visi dan program untuk rakyat sering kali kalah karena tidak memiliki kekuatan keluarga atau jaringan kekuasaan yang luas.
4. Partai Politik sebagai Broker Kekuasaan
Peran partai politik dalam Pilkada juga menjadi sorotan penting dalam memahami mengapa Pilkada semakin dikuasai oleh elit kuasa. Sejak desentralisasi politik, partai politik lokal memiliki peran besar dalam menentukan siapa yang akan menjadi calon kepala daerah. Namun, dalam praktiknya, partai politik sering kali lebih berfokus pada kepentingan pragmatis daripada memperjuangkan aspirasi rakyat.
Dalam buku Indonesian Politics and Society: A Reader (King & Browne, 2010), dijelaskan bahwa partai politik di Indonesia cenderung memilih calon-calon yang memiliki modal finansial atau dukungan dari pengusaha besar, bukan berdasarkan kualitas kepemimpinan atau visi pembangunan. Partai politik menjadi “broker” yang memediasi antara calon-calon kepala daerah dan sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk kampanye, menjadikan Pilkada sebagai arena transaksi kekuasaan di antara elit.
Hal ini menyebabkan program kerja dan janji kampanye yang disampaikan oleh calon sering kali hanya menjadi formalitas. Banyak calon kepala daerah yang lebih mengedepankan kepentingan partai dan donatur mereka daripada memperjuangkan program-program yang benar-benar dapat mengatasi permasalahan di masyarakat. Setelah terpilih, para kepala daerah sering kali harus mengakomodasi kepentingan partai dan para pemodal yang telah mendukung mereka, menyebabkan kebijakan publik yang dihasilkan cenderung tidak pro-rakyat.
5. Krisis Representasi dan Marginalisasi Aspirasi Rakyat
Salah satu dampak utama dari elitisasi Pilkada adalah krisis representasi, di mana rakyat merasa bahwa suara dan aspirasi mereka tidak lagi terwakili dalam proses politik. Ini tercermin dari meningkatnya apatisme politik di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Banyak rakyat yang merasa bahwa Pilkada bukan lagi mekanisme demokrasi yang dapat mereka percayai untuk membawa perubahan, melainkan hanya permainan politik yang dikuasai oleh segelintir elit.
Penelitian oleh Marcus Mietzner dalam Democracy and Islam in Indonesia (2018) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik di Indonesia masih tinggi, tetapi ada kecenderungan bahwa partisipasi ini lebih didorong oleh mobilisasi politik uang dan jaringan patron-klien daripada keterlibatan aktif dalam menentukan arah kebijakan. Dalam situasi ini, rakyat lebih banyak dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan elit, sementara kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat luas.
6. Kebutuhan Akan Reformasi Politik Lokal
Melihat kondisi ini, penting bagi kita untuk merenungkan kembali esensi Pilkada sebagai instrumen demokrasi lokal yang inklusif dan partisipatif. Reformasi politik lokal harus segera dilakukan untuk memastikan bahwa Pilkada kembali menjadi panggung rakyat untuk menyuarakan aspirasinya, bukan sekadar permainan elit kuasa. Salah satu langkah reformasi yang mendesak adalah penguatan regulasi terhadap pendanaan politik, sehingga calon kepala daerah tidak sepenuhnya tergantung pada dukungan finansial dari oligarki.
Selain itu, diperlukan peningkatan transparansi dalam proses pencalonan kepala daerah, sehingga partai politik tidak lagi berperan sebagai “broker kekuasaan” yang hanya memperdagangkan tiket pencalonan kepada kandidat yang memiliki modal besar. Partai politik perlu dikembalikan ke peran utamanya sebagai wadah aspirasi rakyat, bukan sekadar mesin elektoral untuk memenangkan kekuasaan. Dalam konteks ini, pendidikan politik bagi masyarakat juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat agar tidak mudah terjebak dalam politik uang atau manipulasi oleh media dan elit.
Kesimpulan
Pilkada seharusnya menjadi sarana penting bagi rakyat untuk mengekspresikan kehendak politik mereka secara langsung. Namun, kenyataannya, Pilkada saat ini lebih banyak dikendalikan oleh elite politik, oligarki ekonomi, dan dinasti kekuasaan. Proses demokrasi yang semula partisipatif kini berubah menjadi permainan elit yang mengabaikan aspirasi rakyat. Dalam konteks ini, dibutuhkan reformasi yang serius untuk mengembalikan Pilkada kepada tujuan utamanya, yaitu memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat dan kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat.
Referensi:
1. Aspinall, E. & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press.
2. Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.
3. Choi, N., & Hamid, R. (2019). The Rise of Political Dynasties in Indonesia. Palgrave Macmillan.
4. King, B. J., & Browne, M. (2010). Indonesian Politics and Society: A Reader. Routledge.
5. Mietzner, M. (2018). Democracy and Islam in Indonesia. Cornell University Press.
Penulis:
Imam Mustakim.
Wasekjen DPP Petani NasDem.
Sekretaris DPD Partai NasDem Kabupaten Tulungagung.
Discussion about this post