Restorasi Siang, Mataraman.net – Perekonomian Indonesia pada kuartal III 2024 memperlihatkan gambaran yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai indikator ekonomi memperlihatkan tren pelemahan, yang semakin menegaskan bahwa kondisi fundamental ekonomi membutuhkan perhatian serius. Turunnya daya beli masyarakat akibat lonjakan harga kebutuhan pokok dan ketidakstabilan inflasi menjadi salah satu faktor utama. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya pertumbuhan di sektor-sektor strategis seperti manufaktur, yang biasanya menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi dan penyedia lapangan kerja. Situasi ini menjadi semakin kompleks ketika berbagai perusahaan manufaktur melaporkan penurunan pesanan, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, yang menimbulkan efek berantai pada kinerja industri nasional secara keseluruhan.
Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Susenas semakin memperjelas gambaran suram ini. Berdasarkan hasil survei Susenas, penurunan konsumsi rumah tangga kini terlihat nyata, di mana masyarakat mulai mengurangi pembelian barang non-pokok dan lebih memprioritaskan kebutuhan dasar. Penurunan konsumsi ini sejalan dengan kenaikan harga-harga, yang membuat sebagian besar masyarakat menghadapi kesulitan dalam menjaga standar hidup mereka. Menurut data BPS, inflasi yang tetap tinggi sekitar 4,5% year-on-year di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi, memberikan tekanan besar pada rumah tangga berpendapatan rendah yang penghasilannya tidak seimbang dengan laju inflasi. Dalam kondisi seperti ini, rumah tangga cenderung menahan belanja, yang akhirnya memperlemah konsumsi domestik dan memperburuk perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia mengalami kelesuan yang signifikan. BPS mencatat adanya penurunan indeks produksi industri sebesar 2,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Berbagai industri, mulai dari tekstil hingga elektronik, melaporkan penurunan produksi akibat permintaan yang menurun, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penurunan ekspor produk manufaktur, terutama ke negara-negara tujuan utama seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, semakin memperburuk situasi, mengingat sektor ini merupakan penyedia lapangan kerja bagi jutaan tenaga kerja. Akibatnya, sektor manufaktur mengalami pengurangan tenaga kerja yang semakin meningkatkan angka pengangguran. Berkurangnya aktivitas produksi ini juga berdampak pada penurunan investasi di sektor-sektor produktif, sehingga prospek pemulihan ekonomi menjadi semakin jauh dari harapan.
Dengan melemahnya sektor konsumsi dan manufaktur, ekonomi Indonesia kini berada dalam kondisi yang rapuh. Ketergantungan yang tinggi pada konsumsi domestik sebagai penggerak utama ekonomi menjadi titik lemah, terutama ketika daya beli masyarakat terus tertekan. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya perubahan kebijakan yang signifikan, Indonesia berisiko memasuki periode stagnasi yang lebih panjang. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah reformasi yang lebih mendalam dan terarah untuk menghadapi tantangan ini.
Penurunan Daya Beli Masyarakat: Cermin Beban Ekonomi yang Makin Berat
Menurut data Susenas kuartal III 2024, daya beli masyarakat mengalami penurunan di berbagai lapisan. Dalam survei tersebut, sekitar 45% rumah tangga mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan dasar akibat kenaikan harga bahan pokok. Laju inflasi yang masih berkisar di angka 4,5% (year-on-year) memperburuk situasi, sehingga masyarakat harus mengurangi konsumsi pada kebutuhan non-esensial untuk dapat bertahan. Ketidakmampuan mempertahankan pola konsumsi yang sama menunjukkan dampak langsung dari menurunnya daya beli, terutama bagi golongan berpendapatan rendah yang pendapatan hariannya tergerus oleh kenaikan biaya hidup.
BPS juga mencatat bahwa penjualan ritel mengalami penurunan sebesar 3,2% di kuartal ini dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini paling terasa di sektor makanan dan minuman, pakaian, serta produk elektronik, yang umumnya menjadi indikator perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Ketika daya beli masyarakat menurun, roda ekonomi terhenti. Terlebih, sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia didorong oleh konsumsi rumah tangga. Jika konsumsi melemah, maka pertumbuhan ekonomi pun otomatis akan melambat.
Manufaktur yang Tertekan: Potret Menurunnya Daya Saing Industri
Di sektor manufaktur, penurunan produksi dan berkurangnya pesanan, baik dari pasar domestik maupun ekspor, menjadi tantangan berat. Berdasarkan laporan BPS, indeks produksi manufaktur menurun sebesar 2,1% pada kuartal III 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi di sektor-sektor yang menjadi andalan ekspor Indonesia, seperti tekstil, elektronik, dan otomotif. Sektor-sektor ini tidak hanya menghadapi penurunan permintaan domestik tetapi juga kesulitan bersaing di pasar global, terutama karena keterbatasan inovasi dan investasi teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produk.
Kementerian Perindustrian mencatat bahwa ekspor produk manufaktur turun hingga 5,3% di kuartal ini, terutama karena lemahnya permintaan dari negara-negara mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, yang juga mengalami perlambatan ekonomi. Penurunan ekspor ini membawa dampak langsung pada lapangan kerja, karena banyak perusahaan manufaktur melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau merumahkan sebagian pekerjanya sebagai langkah efisiensi. Sektor manufaktur yang biasanya berperan besar dalam menyerap tenaga kerja kini malah menjadi salah satu sumber pengangguran baru.
Ketergantungan pada Sektor Konsumsi: Ketidakseimbangan yang Membahayakan
Kondisi ini mencerminkan ketidakseimbangan fundamental dalam ekonomi Indonesia, di mana perekonomian masih sangat bergantung pada konsumsi domestik tanpa didukung dengan peningkatan daya saing di sektor produksi. Ketika konsumsi melemah, ekonomi kehilangan stabilitas. Sementara itu, ketergantungan pada komoditas ekspor seperti batu bara dan minyak sawit juga menjadi masalah tersendiri. Harga komoditas global yang berfluktuasi menambah risiko bagi perekonomian domestik, terlebih saat permintaan dari luar negeri mengalami penurunan. Ketergantungan ini membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap dinamika global yang tak menentu, terutama ketika harga komoditas anjlok atau terjadi ketidakpastian di pasar global.
Ketimpangan ekonomi juga semakin mencolok. Pulau Jawa, yang menjadi pusat ekonomi dan konsumsi terbesar, mendominasi pertumbuhan ekonomi sementara daerah-daerah di luar Jawa, terutama di wilayah Indonesia Timur, masih tertinggal. Menurut BPS, kontribusi ekonomi Indonesia Timur hanya sekitar 16% dari total PDB nasional. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa ada potensi besar yang belum tergarap di daerah-daerah tersebut. Namun, kurangnya investasi di infrastruktur dan sumber daya manusia menjadi hambatan utama untuk memaksimalkan potensi tersebut.
Dampak Sosial yang Semakin Meluas: Pengangguran dan Kemiskinan
Kondisi ekonomi yang melemah ini berdampak langsung pada aspek sosial, terutama dalam hal pengangguran dan kemiskinan. BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka meningkat sebesar 0,5% pada kuartal III 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara tingkat kemiskinan juga mengalami kenaikan, terutama di daerah perkotaan. Data Susenas menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan semakin melebar dengan meningkatnya jumlah keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan.
Di sektor manufaktur, ribuan pekerja telah mengalami PHK atau pengurangan jam kerja, yang memperparah tingkat pengangguran di wilayah-wilayah yang selama ini bergantung pada industri. Ketika sektor-sektor produktif seperti manufaktur melemah, dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat kelas pekerja, khususnya di kota-kota industri yang selama ini menjadi pusat aktivitas manufaktur. Situasi ini meningkatkan ketimpangan antara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah, menciptakan tantangan sosial yang dapat memperburuk stabilitas jangka panjang jika tidak segera ditangani.
Tantangan Eksternal: Ketidakpastian Geopolitik dan Perlambatan Ekonomi Global
Tidak hanya faktor domestik, ketidakstabilan geopolitik dan perlambatan ekonomi global juga menambah tekanan pada ekonomi Indonesia. Situasi geopolitik di Timur Tengah, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta krisis energi yang terus berlangsung telah menciptakan ketidakpastian di pasar global. Hal ini mengakibatkan fluktuasi harga komoditas yang memengaruhi pendapatan ekspor Indonesia. Sebagai negara yang masih bergantung pada ekspor komoditas, Indonesia menjadi rentan terhadap dinamika global yang sulit diprediksi.
Perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa turut menghambat kinerja ekspor Indonesia. Ketika permintaan dari negara-negara tersebut menurun, sektor-sektor utama seperti pertambangan, perkebunan, dan industri pengolahan juga ikut terdampak. Hal ini membuat pemerintah harus berpikir keras untuk mengurangi ketergantungan pada pasar internasional dan memperkuat pasar domestik.
Arah Baru yang Dibutuhkan untuk Ekonomi Indonesia
Untuk menghadapi tantangan yang ada, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang fokus pada reformasi struktural, peningkatan daya saing, dan pemerataan ekonomi. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:
1. Diversifikasi Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing Industri:
Diversifikasi ekonomi harus menjadi prioritas utama. Indonesia perlu mengembangkan sektor industri yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti industri teknologi dan farmasi, untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah. Selain itu, pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri untuk berinvestasi dalam teknologi dan inovasi yang dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.
2. Penguatan Infrastruktur dan Pemerataan Ekonomi:
Investasi infrastruktur, terutama di luar pulau Jawa, penting untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan memperkuat konektivitas antarwilayah, daerah-daerah di luar Jawa dapat memiliki akses lebih mudah untuk mendistribusikan produk, menarik investasi, dan meningkatkan aktivitas ekonomi lokal. Langkah ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan mengurangi ketergantungan pada pusat-pusat ekonomi di Jawa.
3. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia:
Indonesia perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan, pelatihan, dan pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri. Dengan memiliki SDM yang berkualitas, Indonesia akan lebih siap untuk bersaing di pasar global dan beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat.
4. Penguatan Jaringan Perlindungan Sosial:
Dalam jangka pendek, pemerintah perlu memperkuat jaringan perlindungan sosial untuk melindungi kelompok rentan. Program bantuan langsung tunai, subsidi pangan, dan dukungan untuk kelompok masyarakat miskin dapat membantu menjaga daya beli dan memastikan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar.
5. Memperkuat Kemitraan Internasional dan Diplomasi Ekonomi:
Di tengah ketidakpastian global, pemerintah perlu memperkuat kemitraan dengan negara-negara mitra dan mendorong diplomasi ekonomi yang dapat membuka peluang pasar baru. Melalui kerja sama internasional yang lebih kuat, Indonesia dapat mengurangi dampak dari dinamika geopolitik dan tetap mempertahankan stabilitas ekspor di tengah persaingan pasar global yang ketat.
Melihat kondisi ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024, jelas bahwa arah baru dan langkah-langkah strategis sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan yang kian kompleks. Pelemahan daya beli masyarakat, stagnasi sektor manufaktur, dan tingginya ketergantungan pada konsumsi domestik menunjukkan bahwa fondasi ekonomi kita masih rentan terhadap guncangan. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang tidak hanya responsif tetapi juga mampu membangun ketahanan ekonomi jangka panjang. Langkah-langkah seperti diversifikasi sektor industri, peningkatan daya saing melalui inovasi, serta penguatan program perlindungan sosial sangat penting untuk mendorong stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Jika tidak ada upaya perubahan yang signifikan, risiko stagnasi ekonomi dapat semakin menghambat pemulihan dan pertumbuhan di masa mendatang. Situasi ini menjadi pengingat bahwa ekonomi yang tangguh tidak hanya bergantung pada angka pertumbuhan, tetapi juga pada kemampuan untuk beradaptasi dan memperkuat basis ekonomi dari semua sektor dan lapisan masyarakat.
Penulis:
Imam Mustakim
Pemerhati Ekonomi, Wasekjen DPP Petani NasDem
Discussion about this post