Restorasi

Sound Horeg dalam Pusaran Fatwa Antara Hiburan, Ancaman Sosial, dan Ketimpangan Ekonomi

×

Sound Horeg dalam Pusaran Fatwa Antara Hiburan, Ancaman Sosial, dan Ketimpangan Ekonomi

Sebarkan artikel ini
Sound Horeg dalam Pusaran Fatwa Antara Hiburan, Ancaman Sosial, dan Ketimpangan Ekonomi

*) Oleh : Imam Mustakim
Pemerhati Ekonomi dan Politik, Wasekjen DPP Petani NasDem dan Sekretaris DPD Partai NasDem Kabupaten Tulungagung

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Restorasi, Mataraman.net –  Di tengah himpitan ekonomi, ruang hiburan yang sempit, dan akses budaya yang timpang, masyarakat akar rumput menciptakan bentuk hiburannya sendiri. Salah satu yang tumbuh dengan cepat adalah sound horeg sebuah bentuk hiburan keliling berbasis sound system besar yang biasa digunakan dalam hajatan pernikahan, sunatan, hingga acara syukuran kampung. Ia murah, fleksibel, dan dapat menjangkau masyarakat desa atau pinggiran kota yang selama ini jauh dari fasilitas hiburan formal.

Namun kini, sound horeg berada di ujung tanduk. Fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terhadap praktik hiburan ini menimbulkan kegelisahan dan perdebatan tajam. Berdalih menjaga moral, menghindari maksiat, serta mencegah keresahan sosial, lembaga keagamaan tertinggi ini memilih jalan pelarangan. Sebagian pihak menyambutnya sebagai bentuk kontrol terhadap praktik budaya yang dianggap menyimpang. Namun banyak pula yang melihatnya sebagai bentuk intervensi moral yang represif, tidak peka terhadap konteks sosial, dan bahkan berpotensi memperdalam jurang ketimpangan ekonomi serta ketidakadilan budaya di masyarakat.

Sebuah Fatwa yang Membentur Realitas Sosial

Fatwa haram atas sound horeg menandai momen krusial ketika otoritas keagamaan berbenturan langsung dengan bentuk budaya rakyat yang lahir dari kebutuhan, bukan dari kemewahan. Dalam berbagai kesempatan, pihak MUI menyampaikan bahwa sound horeg mengandung banyak unsur negatif musik keras yang menggangu, percampuran bebas laki laki dan perempuan, bahkan praktik mabuk mabukan dan pertunjukan yang menjurus pornografi. Dari sudut pandang normatif agama, semua itu adalah pelanggaran terhadap prinsip prinsip moral Islam.

Namun dalam penerapannya, kita perlu bertanya lebih kritis apakah semua sound horeg secara otomatis mengandung keburukan? Apakah pelarangan total adalah satu satunya cara untuk merespons fenomena sosial semacam ini? Dan yang paling penting, apakah pelarangan ini mempertimbangkan nasib ekonomi dari ribuan orang yang menggantungkan hidupnya pada industri hiburan informal ini?

Pertanyaan pertanyaan ini penting, karena ketika moralitas dijadikan justifikasi untuk mencabut satu bentuk budaya, yang terdampak bukan hanya nilai nilai abstrak, tetapi kehidupan konkret pekerjaan, pemasukan harian, ruang bersosialisasi, dan ekspresi kebudayaan masyarakat kelas bawah.

Sound Horeg Dari Hiburan ke Pangan

Dalam praktiknya, sound horeg bukan sekadar hiburan. Ia adalah bagian dari ekonomi kerakyatan yang bergerak secara otonom tanpa sokongan pemerintah. Di balik satu unit sound horeg, ada banyak lapisan profesi yang terlibat operator sound system, sopir truk pengangkut alat, penyanyi lokal, pemilik alat lighting, juru masak hajatan, penjual makanan, hingga pemilik warung sekitar acara. Ada perputaran uang yang signifikan dalam setiap acara yang menggunakan sound horeg, terutama di daerah daerah yang tidak memiliki fasilitas gedung pertemuan, event organizer, atau hiburan modern.

Baca Juga :  Santunan Anak Yatim Desa Wates Dapat Apresiasi Camat Sumbergempol

Ketika MUI mengeluarkan fatwa haram, dan pemerintah daerah mulai menindaklanjuti dengan pelarangan izin atau pembubaran acara, maka konsekuensinya bukan hanya pada “penghentian hiburan”, tetapi pada pemutusan rantai ekonomi informal. Banyak masyarakat kecil yang kehilangan pendapatan, tanpa ada alternatif pengganti.

Dan ironisnya, fatwa tersebut lahir dari perspektif moral elite yang cenderung steril dari pengalaman sehari hari masyarakat bawah. Mereka yang mengeluarkan larangan tidak pernah menjadi operator sound system yang harus membayar cicilan alat. Mereka tidak berada di posisi keluarga miskin yang ingin merayakan momen bahagia secara sederhana, dengan hiburan yang bisa mereka jangkau. Fatwa semacam ini, jika tidak dibarengi dengan empati struktural, hanya akan menjadi bentuk pemaksaan moral yang menindas, bukan membimbing.

Antara Kontrol Moral dan Politik Kebudayaan yang Bias Kelas

Fatwa haram terhadap sound horeg memperlihatkan watak klasik lembaga keagamaan yang lebih mengedepankan pendekatan larangan moralistik ketimbang pembinaan sosial berbasis dialog. Ketika realitas sosial dinilai hanya dari permukaan musik keras, tarian berani, campur baur penonton maka solusi yang dihasilkan pun cenderung simplistis haramkan, bubarkan, hilangkan.

Yang tidak disadari adalah bahwa praktik praktik yang tampak “menyimpang” tersebut sesungguhnya merupakan gejala dari ketimpangan struktural yang lebih luas. Fenomena Sound horeg adalah bentuk perlawanan kultural masyarakat bawah terhadap krisis rekreasi publik, kemiskinan fasilitas seni, dan peningkatan tekanan hidup ekonomi. Dengan menyederhanakan sound horeg sebagai penyebab kemaksiatan, MUI telah gagal membaca konteks sosial yang melahirkan praktik tersebut.

Jika keprihatinan MUI adalah maraknya konsumsi miras, penampilan penyanyi vulgar, atau potensi kerusuhan, maka mestinya solusinya bukan pelarangan total, melainkan regulasi partisipatif. Pemerintah daerah dan tokoh agama dapat bekerja sama menciptakan kode etik hiburan rakyat, membatasi jam malam, mengawasi konten musik, serta mendidik pelaku seni agar tetap menjaga norma. Dalam kerangka itu, sound horeg tidak harus dimatikan tetapi ditata secara adil dan bermartabat.

Namun, kenyataannya banyak elite moral maupun aparat pemerintah yang tidak tertarik pada proses proses penguatan budaya rakyat. Mereka lebih memilih jalan pintas bubarkan, larang, atau stigmatisasi. Ini bukan hanya bentuk kemalasan berpikir, tapi juga menunjukkan kemiskinan visi kebudayaan dalam menangani konflik sosial.

Lebih menyakitkan lagi, kontrol moral ini hampir selalu menyasar masyarakat kelas bawah, sementara ekspresi budaya kelas menengah atas yang jauh lebih permisif justru dibiarkan. Pertunjukan musik elite, konser besar dengan harga tiket ratusan ribu, pesta pribadi di hotel dan kafe malam, semua itu luput dari pengawasan moral. Ini adalah kemunafikan struktural dalam penegakan moral publik ketika agama berubah menjadi alat kontrol selektif yang berpihak pada pemilik modal dan kekuasaan.

Baca Juga :  Refleksi Maulid Nabi di Tengah Hiruk Pikuk Pilkada 2024: Momen Spiritualitas atau Manuver Politik?

Budaya Lokal Antara Diharamkan dan Diasingkan

Fatwa MUI atas sound horeg tidak hanya menghapus pekerjaan dan hiburan, tetapi juga mempercepat proses pemutusan hubungan antara masyarakat dan budaya lokalnya. Kita harus akui bahwa sound horeg, dalam bentuknya yang paling dasar, merupakan transformasi baru dari seni rakyat tradisional seperti campursari, orkes melayu, bahkan bentuk pertunjukan rakyat lain yang dulu dipentaskan keliling kampung.

Ketika masyarakat semakin kehilangan bentuk seni mereka yang lama karena urbanisasi dan modernisasi, sound horeg menjadi jembatan baru untuk tetap menjaga nuansa komunal dalam perayaan sosial. Tapi dengan pelarangan ini, negara dan institusi agama justru mempercepat keterasingan budaya rakyat dari ruang publik.

Seni yang tidak sesuai standar elite dianggap “vulgar.” Hiburan yang tidak memenuhi selera kalangan menengah dianggap “maksiat.” Ini adalah bentuk kolonialisme baru atas budaya rakyat kolonialisme tafsir moral, di mana ekspresi budaya dinilai dari luar, bukan dari nilai nilai internal masyarakat yang menghidupinya.

Dan inilah yang paling berbahaya, saat agama dipakai untuk membungkam seni, maka kita sedang menyaksikan pembunuhan simbolik terhadap kreativitas rakyat. Padahal dalam sejarahnya, agama yang kuat adalah agama yang tumbuh dari bawah, yang membimbing tanpa memaksa, dan menyentuh budaya rakyat tanpa menghapusnya.

Membangun Etika Sosial yang Adil

Sound horeg memang bukan tanpa cela. Ia bukan bentuk seni yang sempurna. Tapi pelarangan total bukanlah solusi. Pelarangan hanyalah cara mudah untuk menyembunyikan kegagalan negara dan institusi sosial dalam membangun masyarakat yang berbudaya, sejahtera, dan merdeka.

Kita membutuhkan pendekatan baru pendekatan yang mengakui rakyat sebagai subjek budaya, bukan objek kontrol. Pendekatan yang menganggap hiburan bukan ancaman, tapi hak. Pendekatan yang tidak mengharamkan duluan sebelum memahami akar masalahnya.

Agama dan negara seharusnya hadir untuk menyinari jalan rakyat, bukan menginjaknya. Ketika rakyat kecil menciptakan Sound horeg sebagai ruang kebahagiaan. kita seharusnya bertanya, apa yang salah dengan sistem kita sampai sampai rakyat harus menciptakan hiburannya sendiri dengan segala risikonya? Daripada mengharamkan, bukankah lebih bijak kita hadir dan memperbaiki bersama?

Karena pada akhirnya, fatwa hanyalah teks. Tapi kehidupan rakyat adalah realitas yang jauh lebih kompleks. Dan jika teks agama tidak mampu memahami kompleksitas itu, maka ia akan kehilangan makna sosialnya, terasing dari umatnya, dan perlahan hanya akan menjadi suara kosong di menara gading moral yang makin jauh dari bumi tempat rakyat berpijak. (*)