Restorasi Malam, Mataraman.net – Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi peringatan yang penuh makna bagi umat Islam di Indonesia. Setiap tahunnya, perayaan ini dirayakan dengan penuh antusiasme, baik di desa maupun kota, dengan berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian, zikir bersama, dan tabligh akbar. Dalam momentum Maulid, umat diingatkan akan kelahiran sosok agung, Nabi Muhammad SAW, yang membawa ajaran Islam dan menebarkan nilai-nilai kebaikan, keadilan, serta kasih sayang. Bagi banyak orang, Maulid Nabi menjadi saat yang tepat untuk merenungkan kembali ajaran Rasulullah dan memperbaiki diri, baik dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun lingkungan. Ini adalah saat ketika umat berkumpul, mempererat silaturahmi, dan memperkuat persaudaraan, diikat oleh semangat keimanan dan ketaqwaan.
Namun, pada tahun 2024, peringatan Maulid Nabi tidak hanya berlangsung dalam suasana keagamaan yang damai dan khidmat. Tahun 2024 juga merupakan tahun politik yang penuh dengan dinamika dan ketegangan, karena Pilkada serentak akan digelar di berbagai daerah di Indonesia. Pilkada, sebagai salah satu proses demokrasi terbesar di tanah air, selalu menimbulkan gejolak politik, di mana para calon kepala daerah berusaha menarik perhatian publik dan meraih dukungan dari berbagai kalangan. Di tengah suasana politik yang memanas, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa peringatan Maulid Nabi bisa saja terjebak dalam pusaran politik, menjadi arena bagi politisi untuk memanfaatkan momen ini guna mendekatkan diri dengan konstituen Muslim dan meraih simpati publik.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Dalam situasi seperti ini, ada potensi bahwa perayaan yang seharusnya menjadi momen spiritual yang sakral dan murni malah disusupi oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis. Para calon kepala daerah, misalnya, dapat menggunakan Maulid Nabi sebagai ajang untuk tampil di depan publik, menyampaikan pesan-pesan politik yang dibalut dengan retorika religius, dan memproyeksikan citra diri sebagai pemimpin yang religius. Kehadiran para politisi dalam acara-acara keagamaan seperti ini, meskipun mungkin dianggap sebagai bentuk partisipasi dalam kehidupan sosial-keagamaan, sering kali dilihat dengan skeptisisme oleh sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat merasa bahwa kehadiran politisi dalam peringatan Maulid Nabi bukan semata-mata karena niat tulus untuk beribadah atau mengenang kelahiran Nabi, tetapi lebih sebagai strategi politik untuk meraih suara. Di sini, kita melihat terjadinya politisasi agama yang semakin mengaburkan batas antara agama sebagai ruang spiritual dan politik sebagai arena persaingan kekuasaan.
Fenomena politisasi agama bukanlah sesuatu yang baru dalam politik Indonesia. Sejak lama, agama—terutama Islam—telah menjadi salah satu elemen yang dimanfaatkan dalam kampanye politik. Retorika religius, simbol-simbol keagamaan, bahkan figur-figur ulama sering dijadikan alat untuk mendongkrak elektabilitas para kandidat. Dalam tahun politik seperti 2024, kecenderungan ini kemungkinan besar akan semakin intensif, mengingat posisi agama yang sangat sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Para politisi, khususnya calon kepala daerah, akan berupaya sebaik mungkin untuk memanfaatkan setiap momen keagamaan, termasuk peringatan Maulid Nabi, untuk memperkuat citra diri sebagai pemimpin yang religius dan dekat dengan umat. Hal ini tentu saja menjadi tantangan besar bagi kita sebagai masyarakat, terutama dalam menjaga kesucian perayaan-perayaan keagamaan dari infiltrasi politik.
Lebih jauh lagi, situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah kita sebagai umat bisa menjaga agar Maulid Nabi tetap menjadi momen spiritual yang murni, atau apakah kita akan membiarkan perayaan ini terjebak dalam politik praktis? Dalam konteks Pilkada 2024, bagaimana kita bisa memastikan bahwa ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW yang diingatkan dalam peringatan Maulid, seperti kejujuran, keadilan, dan integritas, tidak hanya menjadi slogan-slogan kosong yang dieksploitasi oleh para politisi, tetapi benar-benar menjadi panduan moral dalam memilih pemimpin?
Selain itu, keterlibatan para tokoh agama dalam situasi ini juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Tokoh-tokoh agama, baik ulama, kiai, maupun pemimpin komunitas keagamaan lainnya, memiliki peran strategis dalam menjaga netralitas dan independensi agama dari kepentingan politik praktis. Di tengah situasi yang rawan politisasi ini, para tokoh agama harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pusaran politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga agar perayaan Maulid Nabi tetap fokus pada penguatan spiritualitas dan nilai-nilai kebajikan, serta menghindari segala bentuk keterlibatan dalam kampanye politik terselubung yang bisa merusak kesucian agama. Tokoh agama harus mampu menjadi penjaga moral dan spiritual umat, mendorong masyarakat untuk memilih berdasarkan akhlak dan integritas, bukan berdasarkan janji-janji politik yang dilapisi dengan sentimen keagamaan.
Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilih juga harus semakin kritis dan cerdas dalam menghadapi fenomena ini. Kesadaran kolektif masyarakat untuk memisahkan antara agama dan politik elektoral sangat penting, terutama agar agama tidak terjerumus menjadi alat politik yang pragmatis. Masyarakat perlu memahami bahwa memilih pemimpin tidak hanya soal siapa yang tampil religius atau sering hadir dalam acara-acara keagamaan, tetapi juga soal siapa yang memiliki integritas, visi, dan kompetensi yang jelas untuk memimpin. Ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW tentang keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab harus menjadi pedoman dalam menentukan pilihan politik, bukan sekadar penampilan atau retorika yang terbungkus agama.
Dengan demikian, tahun 2024 akan menjadi ujian besar bagi masyarakat Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara kehidupan spiritual dan politik. Maulid Nabi Muhammad SAW, yang seharusnya menjadi momen refleksi spiritual dan penguatan iman, harus dijaga dari kontaminasi politik yang bisa merusak kesucian dan makna perayaan ini. Di tengah hiruk pikuk Pilkada, kita perlu mempertahankan bahwa peringatan Maulid Nabi tetap menjadi momen spiritual yang khusyuk, di mana umat bisa merenungkan ajaran-ajaran mulia Rasulullah, dan tidak terjebak dalam pusaran politik yang sering kali penuh kepentingan dan ambisi kekuasaan.
Dengan memahami tantangan ini, baik masyarakat maupun para tokoh agama perlu bekerja sama untuk menjaga agar agama tidak dijadikan alat politik, dan memastikan bahwa Maulid Nabi tetap menjadi perayaan yang penuh makna spiritual. Maulid Nabi harus menjadi pengingat bagi kita semua untuk meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam memilih pemimpin yang berakhlak mulia dan memiliki tanggung jawab moral terhadap umat dan masyarakat.
Maulid Nabi sebagai Momen Spiritualitas: Sebuah Introspeksi
Secara historis, peringatan Maulid Nabi di Indonesia selalu identik dengan penguatan nilai-nilai spiritual dan religius. Dalam setiap perayaan Maulid, ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para ulama biasanya menekankan pada pentingnya mengikuti teladan Nabi Muhammad dalam aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari etika bermasyarakat, cara berinteraksi, hingga perilaku dalam berpolitik. Rasulullah dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang kepada umatnya. Nilai-nilai ini sangat relevan dan penting untuk diinternalisasi oleh masyarakat Indonesia, khususnya dalam konteks sosial-politik yang seringkali diwarnai dengan ketegangan.
Dalam konteks Pilkada, nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sebenarnya bisa menjadi landasan kuat bagi masyarakat dalam memilih pemimpin. Masyarakat bisa menjadikan akhlak dan integritas seorang calon sebagai tolok ukur dalam menentukan pilihan, daripada sekadar terpengaruh oleh janji-janji politik atau kampanye populis yang sering kali tidak terealisasi. Namun, bagaimana bila nilai-nilai luhur ini justru disalahgunakan untuk kepentingan elektoral?
Politik Identitas: Memanfaatkan Simbol-Simbol Keagamaan
Politik identitas, yakni penggunaan simbol agama, etnisitas, atau identitas budaya lainnya sebagai alat politik, telah menjadi tren yang semakin mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Pada Pilkada maupun Pemilu sebelumnya, kita telah menyaksikan bagaimana agama dijadikan senjata politik untuk menggalang dukungan atau bahkan untuk mendiskreditkan lawan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam: sejauh mana perayaan-perayaan keagamaan, seperti Maulid Nabi, bisa tetap steril dari kepentingan politik?
Maulid Nabi adalah perayaan yang memiliki makna keagamaan dan spiritual yang mendalam bagi umat Islam. Namun, di tangan politisi yang oportunis, acara keagamaan ini bisa berubah menjadi ajang untuk mendekatkan diri kepada konstituen Muslim. Kehadiran para politisi dalam peringatan Maulid, meskipun di satu sisi bisa dianggap sebagai bagian dari kehidupan demokratis, sering kali dilihat skeptis oleh sebagian masyarakat. Kehadiran ini bisa dianggap sebagai upaya mencari legitimasi moral atau menunjukkan kedekatan dengan umat Islam untuk mendulang suara.
Seorang calon kepala daerah yang datang ke acara Maulid Nabi mungkin membawa retorika moral atau janji memperjuangkan kepentingan umat Islam. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini sering kali dinilai sebagai manuver politik, yang lebih didasarkan pada perhitungan elektoral ketimbang niat tulus untuk mengikuti jejak akhlak Rasulullah. Fenomena ini menciptakan situasi di mana agama, yang seharusnya menjadi ruang netral dan bersih dari kepentingan duniawi, justru dimanfaatkan untuk tujuan politik.
Mengaburkan Batas antara Agama dan Politik
Pilkada 2024 akan menjadi ujian besar bagi masyarakat dan aktor-aktor politik di Indonesia. Di satu sisi, agama tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, terutama dalam membentuk moral dan etika sosial. Namun, di sisi lain, ketika simbol-simbol agama mulai dimanfaatkan secara eksplisit oleh aktor politik, batas antara agama dan politik menjadi kabur. Masyarakat mungkin akan mengalami kebingungan antara memilih berdasarkan nilai-nilai agama yang sebenarnya atau termakan oleh kampanye yang menyelipkan retorika religius demi kepentingan elektoral.
Dalam konteks ini, pemanfaatan peringatan Maulid Nabi oleh calon kepala daerah atau politisi lainnya bisa berdampak serius terhadap persepsi publik terhadap agama itu sendiri. Agama, yang semestinya menjadi sumber moralitas dan pemandu dalam kehidupan bermasyarakat, justru bisa kehilangan maknanya ketika terus-menerus dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik. Lebih buruk lagi, ini bisa memicu polarisasi di tengah masyarakat, di mana agama menjadi alat untuk memecah belah berdasarkan afiliasi politik.
Tantangan Bagi Tokoh Agama dan Masyarakat
Peran tokoh agama dalam situasi ini menjadi sangat penting. Para ulama, kiai, dan pemimpin keagamaan lainnya harus bisa menjaga netralitas dan integritas mereka dalam menghadapi tahun politik. Mereka harus menjadi pemandu moral bagi masyarakat, mengingatkan bahwa peringatan Maulid Nabi adalah momentum untuk meneladani akhlak mulia Rasulullah, bukan untuk digunakan sebagai alat politik.
Para tokoh agama memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa perayaan Maulid Nabi tetap fokus pada nilai-nilai spiritual, memperkuat kesadaran umat terhadap pentingnya kejujuran, keadilan, dan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari. Mereka harus mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap politisi yang mencoba memanfaatkan agama demi kepentingan elektoral. Tokoh agama harus menegaskan bahwa memilih pemimpin tidak hanya soal simbol agama, tetapi juga soal integritas, kompetensi, dan visi yang nyata untuk kemajuan masyarakat.
Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?
Selain para tokoh agama, masyarakat sendiri memiliki peran besar dalam menjaga kesucian Maulid Nabi dari politisasi. Masyarakat harus lebih kritis dalam menghadapi segala bentuk manipulasi agama yang dilakukan oleh aktor politik. Kesadaran kolektif untuk memisahkan antara agama dan politik elektoral sangat penting untuk menjaga agar agama tidak tercemar oleh ambisi-ambisi politik jangka pendek.
Masyarakat perlu mempertahankan esensi Maulid Nabi sebagai ajang refleksi spiritual. Dalam konteks Pilkada, masyarakat harus lebih bijaksana dalam memilih pemimpin, dengan mengedepankan aspek moral, integritas, dan kapasitas kepemimpinan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjalankan amanah dengan adil, jujur, dan bertanggung jawab—bukan sekadar mereka yang pandai menggunakan retorika religius untuk mendulang dukungan.
Kesimpulan
Di tengah hiruk pikuk Pilkada 2024, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momen yang sangat penting untuk merefleksikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan berpolitik. Meskipun godaan untuk mempolitisasi agama semakin kuat, terutama di masa-masa Pilkada, penting bagi kita semua untuk menjaga kesucian Maulid Nabi sebagai ajang murni spiritual.
Maulid Nabi harus menjadi pengingat bagi masyarakat dan pemimpin tentang pentingnya meneladani akhlak Rasulullah dalam kehidupan pribadi maupun publik. Nilai-nilai keadilan, integritas, dan kasih sayang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad harus menjadi pedoman dalam memilih pemimpin yang mampu mengemban amanah dengan baik.
Dengan demikian, Maulid Nabi di tahun Pilkada 2024 harus tetap menjadi momen spiritual yang memperkuat persatuan dan solidaritas, bukan menjadi alat politik yang memecah belah. Umat Islam harus tetap waspada agar agama tidak dipolitisasi, dan menjadikan peringatan ini sebagai momentum untuk menguatkan moralitas, bukan sekadar panggung politik.
Penulis: Imam Mustakim
Wasekjen DPP Petani NasDem.
Sekretaris DPD Partai NasDem Kabupaten Tulungagung.