Restorasi Pagi, Mataraman.net – Setiap kali Pilkada digelar, para calon kepala daerah berlomba-lomba menyajikan janji-janji ekonomi yang menggiurkan kepada pemilih. Isu-isu seperti peningkatan kesejahteraan, pembukaan lapangan kerja, pengembangan infrastruktur, hingga reformasi birokrasi selalu menjadi topik utama dalam kampanye. Namun, seberapa efektif janji-janji kampanye ini dalam mendorong pembangunan daerah yang berkelanjutan? Apakah janji tersebut mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat atau hanya sekadar retorika politik untuk meraih suara?
Setiap pelaksanaan Pilkada, janji politik ekonomi sering kali menjadi senjata utama bagi para calon kepala daerah untuk menarik dukungan pemilih. Program-program ekonomi yang dijanjikan biasanya sangat menarik, mencakup pembangunan infrastruktur yang masif, penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan kesejahteraan, dan upaya pengentasan kemiskinan. Namun, di balik janji-janji tersebut, terdapat pertanyaan mendasar: seberapa realistis janji-janji tersebut dapat diwujudkan, dan sejauh mana kebijakan ekonomi yang dijanjikan benar-benar mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat secara luas? Dalam konteks ini, politik ekonomi dalam Pilkada tidak bisa dipisahkan dari persoalan struktural, kapasitas pemerintahan daerah, serta dinamika kekuasaan yang sering kali menghambat realisasi dari janji-janji tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Aspinall dalam bukunya Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (2019), politik uang dan patronase masih menjadi fenomena yang kuat dalam Pilkada di Indonesia. Janji-janji politik ekonomi sering kali digunakan sebagai alat taktis untuk menarik dukungan elektoral, tetapi tidak selalu disertai dengan niat atau kemampuan untuk mewujudkannya. Banyak calon kepala daerah yang berusaha memanfaatkan kelemahan struktural dalam sistem demokrasi lokal, di mana masyarakat cenderung mengharapkan solusi cepat terhadap masalah-masalah ekonomi yang kompleks. Hal ini menciptakan lingkungan di mana janji-janji ekonomi lebih dilihat sebagai instrumen jangka pendek untuk memenangkan suara, tanpa perencanaan yang matang mengenai bagaimana janji-janji tersebut akan dilaksanakan secara efektif setelah terpilih.
Realitas yang dihadapi oleh para kepala daerah setelah menjabat sering kali jauh lebih kompleks daripada yang mereka bayangkan selama kampanye. Di satu sisi, mereka harus berhadapan dengan keterbatasan anggaran dan sumber daya, sementara di sisi lain, mereka juga harus menghadapi berbagai tantangan struktural seperti birokrasi yang lambat, korupsi, dan ketergantungan pada kebijakan pusat. Seperti yang diungkapkan oleh Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), pembangunan ekonomi yang berkelanjutan membutuhkan kebebasan dalam berbagai dimensi, termasuk kebebasan politik, sosial, dan ekonomi. Namun, di banyak daerah, kebijakan ekonomi yang dijalankan sering kali terfokus pada pencapaian target-target makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi atau investasi infrastruktur, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan yang dilakukan sering kali berorientasi pada jangka pendek, yang lebih bersifat simbolis dan tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kualitas hidup masyarakat.
Selain itu, korupsi menjadi salah satu penghambat utama dalam mewujudkan janji-janji politik ekonomi yang disampaikan selama kampanye. Korupsi menggerus anggaran publik yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan dan pelayanan publik, sehingga janji-janji tersebut sulit direalisasikan secara optimal. Robert Klitgaard dalam Controlling Corruption (1988) menjelaskan bahwa korupsi dalam pemerintahan sering kali terjadi karena lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas, serta adanya insentif bagi pejabat publik untuk menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi. Dalam konteks Pilkada, banyak kepala daerah yang menghadapi tekanan untuk “mengembalikan” investasi politik dari para pendukungnya, yang sering kali berujung pada korupsi dan penyalahgunaan anggaran daerah. Akibatnya, janji-janji yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, seperti program pengentasan kemiskinan atau bantuan sosial, sering kali tidak dapat dijalankan dengan efektif.
Selain persoalan korupsi, birokrasi yang tidak efisien juga menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi yang dijanjikan selama Pilkada. Di banyak daerah, birokrasi yang kaku dan lamban menyebabkan kebijakan ekonomi sulit untuk diimplementasikan secara efektif. Kepala daerah yang terpilih sering kali harus berhadapan dengan birokrasi yang sudah terbentuk lama, di mana reformasi internal berjalan sangat lambat. Hal ini diperparah dengan kurangnya kapasitas sumber daya manusia di pemerintahan daerah untuk merancang dan mengelola kebijakan ekonomi yang kompleks. Joseph Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012) menegaskan bahwa kebijakan ekonomi yang baik harus dirancang dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan sosial, bukan hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata. Namun, di banyak daerah, kebijakan ekonomi yang dirancang cenderung lebih berfokus pada proyek-proyek besar yang bersifat fisik dan dapat terlihat, tanpa memperhatikan apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan bawah.
Lebih dari itu, partisipasi masyarakat dalam proses politik ekonomi di tingkat daerah juga menjadi kunci penting dalam memastikan bahwa janji-janji politik dapat terealisasi. Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail (2012) menekankan pentingnya institusi yang inklusif, di mana masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks Pilkada, masyarakat tidak boleh hanya menjadi penerima janji-janji politik, tetapi juga harus berperan aktif dalam mengawasi dan menuntut realisasi dari janji-janji tersebut. Pengawasan publik yang kuat dapat membantu mengurangi potensi penyimpangan dan memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang dijanjikan benar-benar dilaksanakan dengan baik. Tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, janji politik ekonomi hanya akan menjadi alat kampanye yang kosong, tanpa dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.
Pada akhirnya, politik ekonomi dalam Pilkada memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan daerah yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, potensi ini hanya bisa terwujud jika janji-janji kampanye didukung oleh rencana yang realistis dan pelaksanaan yang efektif. Korupsi, birokrasi yang lambat, dan kurangnya partisipasi masyarakat merupakan tantangan utama yang harus dihadapi oleh para kepala daerah terpilih. Dengan memperkuat akuntabilitas, memberantas korupsi, dan meningkatkan partisipasi publik, politik ekonomi dalam Pilkada dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bukan sekadar janji kosong yang berulang setiap periode pemilihan.
Janji Politik dan Kesejahteraan: Realitas atau Retorika?
Janji ekonomi dalam kampanye Pilkada kerap kali disajikan sebagai solusi instan untuk mengatasi permasalahan daerah, terutama dalam hal kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi. Namun, kenyataannya, banyak kepala daerah yang kesulitan memenuhi janji-janji tersebut setelah terpilih. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari keterbatasan anggaran daerah, ketidakselarasan kebijakan pusat dan daerah, hingga persoalan korupsi dan birokrasi yang lamban.
Dalam konteks ini, janji politik sering kali digunakan sebagai alat untuk meraih dukungan elektoral, tanpa disertai dengan rencana implementasi yang matang. Sebagaimana disampaikan oleh Edward Aspinall dalam bukunya Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (2019), politik uang dan janji kampanye sering kali menjadi alat yang digunakan untuk menggaet suara masyarakat, terutama di daerah-daerah yang memiliki ketergantungan tinggi pada politik patronase. Hal ini membuat janji-janji politik, khususnya di bidang ekonomi, lebih banyak dimanfaatkan sebagai taktik jangka pendek untuk memenangkan Pilkada, tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap pembangunan daerah.
Politik Ekonomi dan Tantangan Implementasi
Politik ekonomi dalam Pilkada sering kali dihadapkan pada tantangan besar ketika menyentuh tataran implementasi. Para calon kepala daerah mungkin saja memiliki visi yang baik terkait pembangunan ekonomi, tetapi visi tersebut sering kali terhambat oleh kondisi lapangan yang tidak ideal. Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999) menekankan bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan membutuhkan kebebasan dalam berbagai dimensi, termasuk kebebasan politik, sosial, dan ekonomi. Namun, kepala daerah yang baru terpilih sering kali harus menghadapi kendala struktural, seperti ketergantungan pada pemerintah pusat, kapasitas fiskal yang terbatas, hingga persoalan birokrasi yang belum efisien.
Selain itu, pola pembangunan yang berorientasi pada hasil jangka pendek, seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran menjelang akhir masa jabatan, sering kali tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya The Price of Inequality (2012), kebijakan ekonomi yang baik harus memperhatikan dampaknya terhadap ketimpangan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata. Namun, di banyak daerah, kebijakan ekonomi yang diambil oleh kepala daerah baru terpilih sering kali lebih berfokus pada pencapaian angka-angka makroekonomi yang mengesankan, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat lapisan bawah.
Korupsi dan Birokrasi sebagai Penghambat
Korupsi menjadi salah satu penghambat utama dalam upaya mewujudkan janji-janji ekonomi yang disampaikan dalam kampanye Pilkada. Banyak daerah yang mengalami kebocoran anggaran karena praktik korupsi yang merajalela di birokrasi. Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1988) menjelaskan bahwa korupsi dalam pemerintahan, termasuk di level daerah, merupakan masalah struktural yang mempengaruhi efektivitas kebijakan publik, termasuk di bidang ekonomi. Korupsi menggerus anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program kesejahteraan, sehingga banyak janji kampanye yang akhirnya tidak bisa direalisasikan.
Selain korupsi, birokrasi yang lamban dan tidak efisien juga sering kali menjadi penghambat dalam mewujudkan janji politik ekonomi. Di banyak daerah, reformasi birokrasi berjalan sangat lambat, sehingga kebijakan yang direncanakan oleh kepala daerah sulit untuk diimplementasikan secara efektif. Birokrasi yang tidak responsif menyebabkan program-program ekonomi tidak berjalan sesuai harapan, terutama program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti program pengentasan kemiskinan dan bantuan sosial. Kondisi ini semakin diperparah oleh kurangnya kapasitas sumber daya manusia di pemerintahan daerah untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang efektif dan berkelanjutan.
Masyarakat sebagai Penggerak Pembangunan Daerah
Penting juga untuk mempertimbangkan bahwa janji-janji politik dalam Pilkada hanya dapat direalisasikan jika masyarakat turut aktif berpartisipasi dalam proses pembangunan. Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail (2012) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses politik dan ekonomi merupakan faktor penting dalam keberhasilan pembangunan suatu negara. Di tingkat lokal, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Dalam konteks Pilkada, masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek dari janji-janji politik, tetapi harus menjadi subjek yang aktif dalam memastikan bahwa janji-janji tersebut ditepati. Masyarakat memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah, menuntut transparansi, dan memberikan masukan terhadap kebijakan yang sedang berjalan. Dengan adanya keterlibatan masyarakat yang kuat, janji politik ekonomi yang disampaikan dalam kampanye akan memiliki peluang yang lebih besar untuk direalisasikan dan memberikan dampak nyata terhadap pembangunan daerah.
Kesimpulan
Politik ekonomi dalam Pilkada memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan daerah yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, potensi ini sering kali terkendala oleh berbagai tantangan, termasuk ketidakselarasan antara janji kampanye dan realitas anggaran, korupsi, birokrasi yang tidak efisien, serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Janji politik ekonomi yang disampaikan dalam kampanye Pilkada harus diukur bukan hanya dari seberapa menarik atau populernya janji tersebut, tetapi juga dari seberapa realistis rencana implementasinya dan dampaknya terhadap masyarakat dalam jangka panjang. Hanya dengan demikian, politik ekonomi dalam Pilkada dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan kesejahteraan dan bukan sekadar janji kosong yang dilupakan setelah pemilu usai.
Referensi:
1. Aspinall, Edward. Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press, 2019.
2. Sen, Amartya. Development as Freedom. Oxford University Press, 1999.
3. Stiglitz, Joseph E. The Price of Inequality. W.W. Norton & Company, 2012.
4. Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. University of California Press, 1988.
5. Acemoglu, Daron, and James A. Robinson. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Crown Business, 2012.
Penulis :
Imam Mustakim
Sekretaris DPD Partai NasDem Kabupaten Tulungagung.
Wasekjen DPP Petani NasDem.
Discussion about this post