*)Oleh: Imam Mustakim
Pemerhati ekonomi politik, Wasekjen DPP Petani NasDem dan Sekretaris DPD Partai NasDem Kab. Tulungagung
Restorasi Malam, Mataraman.net – Dalam satu dekade terakhir, dunia telah memasuki fase baru dalam dinamika geopolitik dan geoekonomi global. Rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok bukan lagi sekadar persaingan dua negara adidaya, tetapi telah menjelma menjadi pertarungan sistemik yang memengaruhi tatanan dunia. Ekonomi global kini semakin terpolarisasi. Isu teknologi, keamanan energi, ketahanan pangan, hingga regulasi perdagangan, semuanya menjadi arena kontestasi.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Di tengah kompleksitas tersebut, negara-negara berkembang seperti Indonesia dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah ikut dalam arus dominasi kekuatan besar, atau membangun kekuatan sendiri untuk menjadi aktor yang menentukan arah kebijakannya sendiri.
Pertanyaan besar kemudian muncul: apakah Indonesia siap memainkan peran sebagai aktor utama dalam ekonomi global, atau hanya akan menjadi penonton di panggung pertarungan kekuatan besar?
Antara Potensi Strategis dan Realitas Ketergantungan
Secara geografis dan ekonomi, Indonesia berada dalam posisi yang sangat strategis. Kita terletak di jantung Indo-Pasifik wilayah yang kini menjadi pusat gravitasi ekonomi dan keamanan dunia. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, kekayaan sumber daya alam, serta status sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki potensi besar untuk memainkan peran sebagai kekuatan regional yang mandiri dan berpengaruh.
Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kekuatan eksternal, baik dalam bentuk modal, teknologi, maupun arah kebijakan ekonomi.
Ambil contoh sektor hilirisasi nikel. Indonesia memang telah berhasil menarik investasi besar dari Tiongkok untuk mengembangkan industri logam baterai kendaraan listrik. Namun, struktur kerja sama yang timpang, ketergantungan teknologi asing, dan dampak lingkungan yang belum dikelola serius, memperlihatkan bahwa transformasi industri ini belum sepenuhnya berdiri di atas kedaulatan nasional.
Di sisi lain, keterlibatan Indonesia dalam kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik yang dipimpin AS juga menimbulkan pertanyaan. Apakah Indonesia hanya menjadi bagian dari rantai pasok global tanpa daya tawar, atau bisa memanfaatkan kemitraan tersebut untuk memperkuat kapabilitas domestik? Dalam banyak kasus, Indonesia justru berada dalam posisi negosiasi yang lemah, karena belum memiliki strategi nasional yang solid dalam menghadapi tekanan global.
Rivalitas Global dan Tekanan Tak Kasatmata
Rivalitas AS dan Tiongkok tidak hanya terjadi di permukaan. Ia hadir dalam bentuk aturan-aturan dagang, standar teknologi, akses data, bahkan investasi infrastruktur. Negara-negara berkembang didorong untuk memilih “blok”, meski dalam bentuk halus. Tekanan untuk mematuhi aturan chip dari AS, atau ekspektasi untuk memfasilitasi investasi Tiongkok, merupakan contoh bagaimana geopolitik bekerja lewat jalur ekonomi.
Di sinilah Indonesia perlu membangun kapasitas strategis. Menjadi aktor dalam ekonomi global berarti mampu membaca peta kekuatan, membentuk koalisi yang saling menguntungkan, dan menentukan sendiri prioritas nasional. Bukan sekadar mengikuti siapa yang paling kuat.
Indonesia tidak harus berpihak, tetapi harus punya posisi. Netralitas bukan berarti pasif. Dalam konteks global hari ini, netral yang tidak aktif hanya akan membuat Indonesia menjadi wilayah kosong tempat kepentingan global bersaing tanpa kontrol.
Membangun Jalan sebagai Aktor Global
Agar dapat memainkan peran lebih aktif, Indonesia harus membangun fondasi domestik yang kokoh dan strategi luar negeri yang cerdas. Beberapa langkah penting di antaranya:
1. Kemandirian Industri dan Teknologi
Indonesia harus memperkuat basis industrinya sendiri, khususnya di sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi digital, pertanian cerdas, dan manufaktur bernilai tambah. Ketergantungan pada teknologi asing dapat dikurangi melalui penguatan riset, insentif untuk industri lokal, dan pembangunan ekosistem inovasi.
Kebijakan hilirisasi yang sedang dijalankan adalah langkah awal yang baik, tetapi harus diikuti dengan keberanian untuk menolak investasi yang hanya memperpanjang ketergantungan dan merusak lingkungan.
2. Strategi Ekonomi Luar Negeri yang Tegas dan Terukur
Indonesia membutuhkan kerangka kerja ekonomi luar negeri yang berbasis pada kepentingan jangka panjang. Kemitraan global harus dikaji tidak hanya dari sisi nominal investasi, tetapi juga dari kontribusinya terhadap transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja berkualitas, dan peningkatan daya saing nasional.
Kita perlu berani menegosiasikan ulang kontrak dan perjanjian yang merugikan, serta mengambil sikap tegas ketika kepentingan nasional terancam.
3. Diplomasi Ekonomi yang Proaktif
Indonesia selama ini dikenal sebagai negara dengan politik luar negeri yang “bebas aktif”. Namun dalam praktik ekonomi global, pendekatan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret. Diplomasi ekonomi perlu lebih ofensif: membentuk aliansi perdagangan baru, memperjuangkan reformasi arsitektur ekonomi global yang lebih adil, serta menjadi pemimpin dalam isu-isu strategis seperti transisi energi, ketahanan pangan, dan digitalisasi inklusif.
Di panggung global hari ini, tidak ada ruang bagi negara yang ragu-ragu. Ketika kekuatan besar tengah bertarung menentukan masa depan dunia, negara seperti Indonesia tidak boleh hanya menjadi batu loncatan atau medan kompetisi.
Menjadi aktor berarti memiliki arah. Indonesia harus menulis skenario ekonominya sendiri, menyusun agenda prioritas nasional yang konsisten, dan membangun kekuatan dari dalam untuk bersuara lebih lantang di luar. Kita punya semua modal: sumber daya, pasar, posisi strategis, dan pengalaman sejarah. Yang dibutuhkan kini adalah visi jangka panjang dan keberanian politik.
Karena dalam dunia yang berubah cepat ini, mereka yang tidak berperan akan digiring ke peran yang tidak mereka pilih. (*)