Trenggalek, Mataraman.net – Salah satu kiai kharismatik asal Trenggalek yang istikamah dalam mengemban amanah li i’laikalimatillah adalah Almaghfurlah KH Muhammad Yunus yang tercatat mondok di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo selama 21 tahun.
Beliau merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Jajar, Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek Jawa Timur yang wafat pada 1 Januari 2010 silam.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Salah satu santri beliau adalah KH Sulaiman Zuhdi Ahmad asal Ngelo, Sukorame, Gandusari Trenggalek. Penulis disambut hangat oleh sang putera beliau untuk menghaturkan perihal wawancara selepas Salat Jum’at.
Teras ndalem Pondok Ngelo terasa sejuk dengan rimbunnya pepohonan. Tak berselang lama KH Zuhdi menemui penulis bersama abdi ndalem di teras. Usai menyampaikan maksud dan tujuan penulis, beliau seperti memutar waktu mengenang Kiai Yunus.
Lahir di Dusun Ngelo, Desa Sukorame pada 1929, almaghfurlah berasal tak jauh dari rumahnya berangkat mondok dan lama mondok di Lirboyo Kediri. Ketika sekembalinya pulang, oleh sesepuh disarankan mendirikan sebuah madrasah.
Benar saja, jumlah santri yang belajar mengaji berkembang menjadi ratusan yang berasal dari wilayah sekitar.
Beliau tidak ingat mulai tahun berapa ngangsu kaweruh di Lirboyo. Namun masih teringat jelas kepulangan beliau dan diminta untuk menghidupkan madrasah di lingkungan Pondok Ngelo, Sukorame Gandusari.
“Mbah Unus (sebutan Kiai Yunus) sekitar 1958 itu pulang sama sesepuh sini disuruh mendirikan madrasah. Lalu, sekitar tahun 60 mau balik ke pondok. Lha kalau kamu tinggal di pondok siapa yang mau meneruskan ini,” kata Kiai Zuhdi menirukan sang sesepuh berpesan ke Mbah Unus, ditemui di teras ndalem, Sabtu (19/7/2025).
Akhirnya Kiai Yunus tidak jadi balik ke pondok. Alhasil, di madrasah ini mulai besar hingga sekitar 800 santri. Ia mengenang saat itu masih kelas 0 masih mengetahui proses pembuatan kamar santri yang berada diatas kamar mandi.
Kiai Zuhdi melanjutkan, pada tahun 1961 Kiai Yunus diambil menantu oleh Gus Qomaruddin (putra dari Kiai Badruddin Jajar) untuk dinikahkan kepada sang adik Bu Nyai Hilaliyah. Akhirnya, Kiai Zuhdi mondok di Jajar dan masuk kelasnya Kiai Yunus.
Kiai kelahiran 1952 ini mengenang Kiai Yunus dalam mengajarkan santri-santri di madrasah menggunakan metode seperti di Lirboyo. Harus benar-benar memahami taqrir dan murod.
Taqrir dalam konteks nahwu bisa juga dipahami sebagai penjelasan atau penjelasan detail suatu konsep atau kaidah. Sedangkan murod merujuk pada makna yang ingin disampaikan atau dipahami dari suatu lafazh (ungkapan) maupun kalam (kalimat).
“Mbah Unus kalau mulang dibaca sak maknane, taqrirane terus di-murodi. (kalau ngajar dibaca sekalian arti, taqrir serta murod). Kalau tidak Bahasa Indonesia ya klakep,” canda beliau.
Sampai-sampai ada santri, Kiai Qornen Kedunglurah itu sebangku dengan dirinya karena tidak bisa Bahasa Indonesia. Sehingga membuat santri benar-benar memahami baik secara harfiah maupun maknawiyah.
“Sampai Mbah Kornen itu sebangku dengan saya sama saking tidak bisa Bahasa Indonesia. Waktu ngahar itu taqriran harus bisa membaca dan juga bisa murodi dengan membaca bahasa Indonesia. Jibek (susah) Mbah Qornen,” tawanya lirih.
Kiai yang memiliki putra putri 5 ini membenarkan bahwa Kiai Yunus memiliki kelebihan dan banyak santri merasakan. Yaitu ketika mengaji di serambi Masjid Jajar atau masjid pondok, santri yang berada di kejauhan terdengar.
“Jadi santri yang bertempat di sebelah utara, ya terdengar, ya tidak keras. Santri di sampingnya juga tidak terlalu keras. Misal ngaji disini, (serambi) dari rumah situ terdengar,” akuinya.
Dikatakannya, dahulu ngaji di serambi Kiai Yunus Istikamah berada di tiang selatan timur menghadap barat. Namun santri yang berada di pinggir serambi, pintu sebelah serta banguna dahulu tidak seperti ini.
“Masih terhalang dinding juga terdengar, benar itu pas ngaji kitab, kok bisa,” katanya.
Dirinya juga menceritakan kesabaran dalam mendidik santri. Kiai Zuhdi muda ketika mondok di pelajaran Alfiyah Ibnu Malik, semua santri wajib menghafalkan belasan bait dalam seminggu.
Setoran langsung disimak oleh Kiai Yunus. Namun Kiai Zuhdi yang masih belia belum mampu menghafal dengan sesuai target berinisiatif untuk tetap bisa setoran.
Akhirnya, Kiai Zuhdi menulis bait demi bait di belakang papan tulis. Sehingga saat setoran ke Kiai Yunus bisa dibaca dengan lancar.
“Beliau sabar. Setiap Minggu ditarik 15 bait Al-Fiyyah, saya tidak bisa, saya bertempat di belakang papan tulis dan saya tulis. Tidak kalau ngrepek (nyontek) saya membaca hehehe,” kenangnya.
Pernah di awal-awal Kiai Zuhdi ditanya kenapa kok tidak bisa. Beliau menjawab “Nggih dongane Mbah Yai kulo suwun” (Doanya saja Yai yang saya minta). Namun seminggu selanjutnya juga tidak sesuai target 15 bait untuk disetorkan.
“Sabtunya lagi saya juga tidak bisa, bagaimana? Kulo kinten dongane Mbah Yai kurang Mandhi, Mbah Unus titik wah juh. Batinku kalau dongane Mbah Unus mandhi prakyo mempeng (saya membatin kalau doanya Mbah Yunus mustajab saja bisa sungguh-sungguh),” candanya sembari tersenyum.
Dari segi kehidupan Kiai Yunus, ia mengaku bahwa almaghfurlah tidak kemana-mana. Keluar hanya pas mendapat undangan tahlilan atau lainnya di masyarakat sekitar. Karena memang benar-benar full mengaji membina santri di Pondok Pesantren Darussalam Jajar Sumbergayam.
Akan tetapi, Kiai Zuhdi menerangkan pada sekitar tahun 1970 sampai ia pindah 1973, mengingat Kiai Yunus sering ke sawah untuk mengurus tanaman padi.
“Mbah Yunus sregep (rajin) ke sawah. Celananya putih segini, kaosan putih terus membawa pacul. Saat itu kalau tidak salah 73 Gus Afif masih kecil putih,” paparnya.
Bukan hanya diatas, tidak sedikit cerita-cerita kenangan Kiai Zuhdi dengan Kiai Yunus. Sosok pengembara ilmu yang menularkan ilmu dengan tulus dan ikhlas. Sehingga melahirkan penerus perjuangan Nabi Muhammad SAW. (bahr/red)