Restorasi

Bisakah Ekonomi Indonesia Lepas dari Jerat Utang dan Konsumsi?

×

Bisakah Ekonomi Indonesia Lepas dari Jerat Utang dan Konsumsi?

Sebarkan artikel ini
Bisakah Ekonomi Indonesia Lepas dari Jerat Utang dan Konsumsi?

*)Oleh: Imam Mustakim
Pemerhati Ekonomi dan Kebijakan, Wakil Ketua Umum DPP Petani NasDem, dan Sekretaris DPD Partai NasDem Tulungagung

Restorasi, Mataraman.net – Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sering digambarkan dengan angka yang tampak menjanjikan stabil di kisaran 5% per tahun. Namun di balik angka itu, ada pertanyaan besar yang terus menggelayut: apakah pertumbuhan ini benar-benar berkelanjutan, ataukah hanya ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan utang pemerintah yang kian menumpuk?

Selama ini, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, menyumbang lebih dari separuh dari total produk domestik bruto (PDB). Artinya, pergerakan ekonomi sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Ketika harga-harga naik dan daya beli menurun, roda ekonomi pun ikut melambat. Ketergantungan yang terlalu besar pada konsumsi domestik tanpa diimbangi dengan produktivitas dan ekspor yang kuat membuat fondasi ekonomi kita rapuh terhadap guncangan.

Di sisi lain, utang negara terus meningkat. Pemerintah memang beralasan bahwa utang digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan sektor produktif. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran negara masih terserap untuk belanja rutin, termasuk pembayaran bunga utang dan subsidi. Ketika rasio utang terhadap PDB masih dianggap “aman”, kita lupa bahwa beban pembayarannya terus meningkat setiap tahun dan akan menjadi tanggungan generasi mendatang.

Ketergantungan pada utang dan konsumsi seperti dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Di satu sisi, utang digunakan untuk menjaga konsumsi agar ekonomi tidak lesu; di sisi lain, konsumsi itu sendiri tidak cukup kuat menciptakan nilai tambah ekonomi yang signifikan. Akibatnya, ekonomi tumbuh, tetapi tidak menciptakan kesejahteraan yang merata. Pertumbuhan seperti ini ibarat rumah megah yang dibangun di atas pondasi rapuh.

Baca Juga :  Dinamika Koalisi Partai dalam Pilkada 2024: Antara Strategi dan Kepentingan

Untuk keluar dari jerat ini, Indonesia harus berani mengubah arah kebijakan ekonomi. Pertama, perlu pergeseran dari ekonomi konsumtif menuju ekonomi produktif. Investasi di sektor manufaktur, teknologi, dan pertanian modern harus diperkuat agar menghasilkan barang dan jasa bernilai tambah tinggi. Kedua, pemerintah perlu menata ulang strategi pembiayaan pembangunan. Utang memang tak selalu buruk, asalkan digunakan untuk proyek produktif yang menghasilkan pendapatan, bukan sekadar menambah beban fiskal.

Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci utama. Tanpa tenaga kerja yang terampil dan inovatif, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk luar negeri, bukan produsen yang berdaya saing. Pendidikan vokasi, riset, dan pengembangan industri berbasis inovasi harus menjadi prioritas, bukan hanya jargon politik.

Pertanyaan “bisakah ekonomi Indonesia lepas dari jerat utang dan konsumsi?” sejatinya bergantung pada keberanian bangsa ini dalam mengubah pola pikir. Selama kita masih bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang semu, tanpa memperhatikan ketahanan dan produktivitas jangka panjang, maka jawabannya? belum bisa. Tetapi jika kita mampu membangun ekonomi berbasis produksi, inovasi, dan efisiensi, maka bukan mustahil Indonesia benar-benar berdikari secara ekonomi di masa depan.

Baca Juga :  Ambisi Kekuasaan dalam Pilkada: Kepentingan Rakyat atau Kepentingan dan Ego Pribadi di Bungkus Kepedulian Publik?

Jika arah ekonomi terus dibiarkan berjalan seperti sekarang bergantung pada konsumsi rakyat kecil dan utang negara maka kita sesungguhnya sedang menanam bom waktu di tengah fondasi ekonomi sendiri. Pemerintah boleh berbangga dengan angka pertumbuhan lima persen, tetapi angka itu tak berarti banyak bila ditopang oleh belanja yang bersumber dari pinjaman dan daya beli semu. Pertumbuhan seperti ini hanya meninabobokan kesadaran publik bahwa ekonomi kita sebenarnya rapuh dan rentan guncangan.

Yang lebih memprihatinkan, setiap kali utang bertambah, ruang fiskal untuk kepentingan rakyat justru semakin menyempit. Infrastruktur memang berdiri megah, tetapi banyak rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Ini adalah ironi pembangunan yang harus diakui secara jujur, bukan ditutup dengan narasi optimisme semu.

Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk berkata cukup terhadap utang yang tak produktif dan konsumsi yang tak terkendali. Sudah waktunya pemerintah beralih dari kebijakan yang populis ke kebijakan yang visioner membangun kemandirian ekonomi berbasis produksi, industri, dan inovasi anak bangsa. Tanpa langkah berani itu, “pertumbuhan ekonomi” hanya akan menjadi dongeng indah yang dibacakan setiap tahun, sementara kenyataan di lapangan tetap pahit dan tidak berubah. (*)