*)Oleh: Imam Mustakim
Pemerhati Ekonomi dan Politik, Wasekjen DPP Petani NasDem dan Sekretaris DPD Partai NasDem Kabupaten Tulungagung
Restorasi, Mataraman.net – Ketahanan ekonomi nasional telah menjadi isu strategis yang semakin relevan dalam konteks global yang penuh gejolak. Krisis finansial global, pandemi COVID-19, konflik geopolitik seperti perang dagang Amerika Serikat Tiongkok dan invasi Rusia ke Ukraina, serta ketidak pastian iklim global, telah membuktikan betapa rentannya sistem ekonomi nasional terhadap tekanan eksternal yang bersifat multidimensional. Dalam situasi semacam ini, kemampuan suatu negara untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dan menjaga keberlanjutan pembangunan menjadi ujian nyata terhadap kualitas kebijakan ekonomi dan daya tahan institusionalnya.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Bagi Indonesia, berbagai krisis global telah mengungkap kelemahan fundamental dalam struktur perekonomian nasional. Ketergantungan terhadap ekspor komoditas primer, tingginya proporsi impor bahan baku industri, serta dominasi sektor informal dan konsumsi rumah tangga sebagai penopang pertumbuhan menunjukkan bahwa fondasi ekonomi domestik belum sepenuhnya kokoh. Situasi ini diperburuk oleh lemahnya diversifikasi sektor strategis dan ketimpangan antarwilayah yang tinggi, sehingga respons terhadap tekanan global seringkali bersifat reaktif, jangka pendek, dan tidak menyentuh akar permasalahan struktural.
Konsep ketahanan ekonomi, dalam kerangka ini, tidak cukup dimaknai sebagai kemampuan menjaga kestabilan makro ekonomi dalam jangka pendek. Ketahanan ekonomi harus dilihat secara lebih luas sebagai kapasitas nasional untuk beradaptasi, bertransformasi, dan mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya eksternal. Artinya, strategi ketahanan ekonomi nasional tidak hanya bertujuan merespons krisis global, tetapi juga membangun fondasi jangka panjang bagi kemandirian dan daya saing ekonomi yang berkelanjutan.
Namun demikian, arah kebijakan ekonomi Indonesia masih menunjukkan dominasi pendekatan makro yang menitik beratkan pada stabilitas fiskal dan moneter, tetapi kurang menyentuh persoalan struktural seperti rendahnya produktivitas sektor pertanian, lemahnya industrialisasi berbasis teknologi, dan keterbatasan akses pelaku ekonomi kecil terhadap sumber daya produktif. Ketimpangan dalam distribusi insentif, monopoli pasar, serta minimnya proteksi terhadap sektor sektor rentan memperlihatkan bahwa strategi ketahanan ekonomi selama ini belum terbangun di atas prinsip keadilan dan pemerataan.
Dalam kondisi global yang semakin tidak pasti dan kompetitif, Indonesia tidak lagi cukup hanya menjadi “pengikut pasar global”. Diperlukan reformulasi menyeluruh terhadap strategi ketahanan ekonomi nasional yang tidak sekadar reaktif, tetapi bersifat transformatif dan holistik. Reformulasi ini harus mencakup pembenahan struktur produksi, integrasi ekonomi rakyat ke dalam arus utama pembangunan, serta reposisi Indonesia dalam sistem ekonomi global yang lebih berdaulat dan resilien. Tulisan ini akan mengurai urgensi dan arah reformulasi tersebut secara kritis, dengan menempatkan tekanan eksternal global sebagai variabel determinan yang menguji kapasitas ekonomi nasional saat ini dan ke depan.
1. Ketergantungan Ekonomi terhadap Eksternalitas Global
Struktur ekonomi Indonesia masih menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap faktor eksternal, terutama dalam neraca perdagangan dan komponen produksi industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 74% bahan baku industri di Indonesia masih bergantung pada impor (BPS, 2023). Hal ini membuat sektor industri domestik sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan gangguan rantai pasok global.
Di sisi ekspor, komoditas utama Indonesia masih didominasi oleh barang mentah dan setengah jadi, seperti batu bara, kelapa sawit, dan bijih logam. Menurut Kementerian Perdagangan (2023), lebih dari 55% total ekspor Indonesia berasal dari komoditas primer, yang harganya sangat sensitif terhadap dinamika pasar global. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia sangat volatil dan sering kali mengalami defisit ketika terjadi penurunan harga komoditas atau gangguan permintaan global.
2. Ketahanan Ekonomi yang Belum Inklusif dan Berkeadilan
Di tingkat domestik, ketahanan ekonomi belum menyentuh basis struktural yang kuat. UMKM, yang menyerap lebih dari 97% tenaga kerja dan menyumbang 61% terhadap PDB nasional (Kemenkop UKM, 2022), masih menghadapi hambatan serius dalam akses pembiayaan, teknologi, dan pasar. Dalam krisis COVID-19, lebih dari 47% UMKM mengalami penurunan omzet lebih dari 50% (ADB, 2021), yang menunjukkan lemahnya sistem perlindungan dan dukungan terhadap pelaku ekonomi skala kecil.
Selain itu, data World Bank (2023) menunjukkan tingkat ketimpangan ekonomi Indonesia (Gini Ratio) masih berada pada angka 0,384, mencerminkan distribusi pendapatan yang timpang dan ketahanan ekonomi yang tidak merata. Ketahanan ekonomi yang hanya terpusat pada sektor formal atau wilayah tertentu seperti Jawa tidak mencerminkan resilien ekonomi nasional secara menyeluruh.
3. Kelemahan dalam Desain Kebijakan Ekonomi Makro
Respons kebijakan terhadap tekanan eksternal selama ini cenderung berfokus pada stabilisasi indikator makro seperti suku bunga, inflasi, dan kurs tanpa memperkuat fondasi ekonomi sektor riil. Misalnya, kebijakan moneter Bank Indonesia seringkali memprioritaskan stabilisasi nilai tukar dengan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate), yang justru dapat menekan investasi dan konsumsi domestik.
Dari sisi fiskal, belanja negara untuk penguatan sektor produktif masih relatif kecil. Data APBN 2024 menunjukkan bahwa alokasi belanja infrastruktur masih lebih besar (sekitar Rp422 triliun) dibandingkan dengan dukungan langsung terhadap penguatan industri hilir dan riset teknologi. Sementara itu, belanja untuk riset dan inovasi masih di bawah 1% dari PDB, jauh dari rekomendasi OECD sebesar 2–3% PDB.
4. Reformulasi Strategi Arah dan Instrumen Baru
Reformulasi strategi ketahanan ekonomi nasional harus diarahkan pada tiga fondasi utama:
Diversifikasi Ekonomi Domestik:
Pemerintah perlu mempercepat industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam dan penguatan sektor manufaktur bernilai tambah tinggi. Proyek hilirisasi nikel dan tembaga harus dibarengi dengan pembangunan teknologi lokal dan pelibatan UMKM dalam rantai pasok industri nasional.
Kemandirian Pangan dan Energi: Indonesia perlu memperkuat ketahanan pangan melalui reforma agraria, perlindungan petani, dan diversifikasi komoditas strategis. Data FAO (2023) menunjukkan bahwa Indonesia masih mengimpor lebih dari 11 juta ton gandum per tahun, menunjukkan kerentanan pangan yang tinggi.
Redesain Kebijakan Fiskal dan Insentif: Pemerintah harus mengalihkan insentif fiskal dan pembiayaan dari sektor konsumtif ke sektor produktif. Penguatan BLU (Badan Layanan Umum) riset, reformasi pajak yang progresif, dan subsidi berbasis kinerja sektor produktif dapat menjadi pendekatan baru yang lebih berkelanjutan.
Ketahanan ekonomi nasional tidak dapat dibangun semata-mata dengan menstabilkan indikator makroekonomi dalam jangka pendek. Diperlukan transformasi struktural yang menyentuh akar kerentanan sistem ekonomi Indonesia, dari ketergantungan terhadap impor dan komoditas primer, hingga lemahnya perlindungan terhadap ekonomi rakyat.
Reformulasi strategi ketahanan ekonomi harus bersifat sistemik dan progresif berbasis pada kemandirian produksi nasional, perlindungan terhadap pelaku ekonomi kecil, serta kebijakan fiskal dan moneter yang diarahkan pada pembangunan berkelanjutan. Dengan merombak orientasi dan alat kebijakan yang ada, Indonesia tidak hanya mampu bertahan dari tekanan eksternal, tetapi juga dapat tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang resilien dan berdaulat di tengah dinamika global yang tidak menentu.
Jika tidak segera dilakukan, strategi ekonomi nasional akan terus berada dalam pusaran reaktivitas dan ketergantungan, yang pada akhirnya mengancam kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan jangka panjang rakyat Indonesia. (*)