Kediri RayaPendidikan

Komunitas Pers Mahasiswa-UNESCO di Kediri Bahas Perlindungan Era Digital

×

Komunitas Pers Mahasiswa-UNESCO di Kediri Bahas Perlindungan Era Digital

Sebarkan artikel ini
Komunitas Pers Mahasiswa-UNESCO di Kediri Bahas Perlindungan Era Digital
Seminar Nasional dan Peringatan World Press Freedom Day 2025 di Kediri. (Dokumen AJI)

Kediri, Mataraman.net – Era digital merubah tatanan perlindungan bagi pers mahasiswa maupun jurnalis profesional. Hal itu yang membuat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerjasama dengan Forum Alumni Aktivis Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) serta Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menghelat Seminar Nasional dan Peringatan World Press Freedom Day 2025.

Tema besar yang diambil yakni ‘Memperkuat Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa di Era Digital’. Bertempat di Auditorium IAIN Kediri forum tersebut didukung penuh UNESCO.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Ketua AJI Indonesia Nany Afrida mengulas dewasa ini indeks kebebasan pers Indonesia merosot ke peringkat 124 dari 180 negara. Hal itu sejalan dengan realita tidak sedikit kekerasan jurnalis profesional di daerah, pun juga dari kalangan pers mahasiswa.

Komunitas Pers Mahasiswa-UNESCO di Kediri Bahas Perlindungan Era Digital
AJI bekerjasama dengan FAA PPMI serta PPMI menghelat Seminar Nasional dan Peringatan World Press Freedom Day 2025. (dokumen AJI)

Nany sangsi dengan Dewan Pers merilis indeks kebebasan pers yang masih dianggap baik. Akan tetapi fakta di lapangannya menunjukkan gambaran yang berbanding terbalik.

“Bahkan, posisi kita teman-teman, sesuai Laporan World Press Freedom Index 2025 dirilis Reporters Without Borders (RSF) per 2 Mei 2025. Indeks kebebasan pers di Indonesia semakin merosot ke posisi 127 yang sebelumnya di peringkat 111 di dunia, 2023 di peringkat ke-108,” ulas Nany Afrida diterima Mataraman.net, Selasa (6/5/2025).

Baca Juga :  Dua Bocah Meninggal Diduga Dibunuh Orang Tua di Kediri

Sayangnya, lembaga pers mahasiswa masih menghadapi berbagai tantangan mulai dari ancaman fisik maupun digital, hingga keterbatasan akses terhadap pengembangan kapasitas secara profesional.

Perempuan asal Aceh ini mengatakan tidak sedikit di daerah jurnalis mengalami intimidasi sampai kekerasan. Akan tetapi juga jarang sekali membicarakan dari pers mahasiswa. Bahkan, di indeks kebebasan pers pun yang dikeluarkan Dewan Pers jarang di bahas.

Nany menilai tantangan ke depan semakin dinamis dan kompleks. Selain itu, tantangan konten berbahaya, disinformasi, hoax misinformasi sampai ujaran kebencian juga tak kalah penting

“Tapi di sisi lain pers mahasiswa juga menjadi sasaran sensor, tekanan institusi bahkan serangan digital. Oleh sebab itu kami rasa forum ini begitu penting. Karena kita tidak cuma duduk bertemu disini, namjn juga membuat jaringan,” ulasnya.

Baca Juga :  Pemkab Kediri Usulkan Integrasi SMA Dharma Wanita ke Program Nasional Sekolah Rakyat

Berberda Nany, berbeda lagi semangat yang dibawa oleh UNESCO. Perwakilan mereka Ana Lomtadze memaparkan pers mahasiswa memainkan peran urgent di kampus. Menjadi suara-suara strategis, media pemuda independen, meliput isu-isu kampus serta masyarakat dalam bingkai lensa analitis kritis.

Ana juga menggarisbawahi pengaruh kecerdasan buatan terhadap kebebasan berekspresi. Adanya teknologi tersebut mempengaruhi kebebasan berekspresi, dan lanskap media secara luas.

“Ini relevan bagi kita hari ini. Sudah saatnya merenungkan tantangan dan tanggung jawab yang kita hadapi dengan transformasi digital,” ulas Ana.

Ia menambahkan perubahan mendalam di dunia yang menciptakan simetri kekuatan yang semakin besar antara komunitas lokal dan perusahaan global, yang terkadang juga digunakan oleh pemerintah untuk mensurvei dan menindak ruang sipil.

“Tidak mudah menolak, apalagi memahami dan menganalisis isu-isu yang saat ini memengaruhi kita semua. Inilah pers berperan, anda bukan hanya melaporkan kisah-kisah publik. Pun juga memerangi disinformasi dan meningkatkan kesadaran,” tambahnya. (bahr/red)